“Tak semua orang lahir dengan kemudahan. Ada yang sejak muda harus jatuh bangun, menanggung beban keluarga, hingga rela meninggalkan kampung halaman. Namun, justru dari proses itulah muncul daya tahan, semangat wirausaha, dan keyakinan bahwa rezeki selalu bisa dicari.”
PROFIL, ESTORIA – Kalimat di atas menggambarkan sosok Abdul Rohim. Lelaki 38 tahun asal Kendal, Jawa Tengah, kini menjalani hari-harinya sebagai penjual kopi, atau lebih pas sebagai pedagang starling (starbucks keliling) yang saya temui sedang membuka lapak di area Taman Adipura, tepat di depan Masjid Jamik Sumenep.
Ya, di bawah temaram lampu Taman Adipura, seorang lelaki berjaket hitam dengan topi sederhana tampak tersenyum lepas.
Dialah Abdul Rohim, pedagang starling (starbucks keliling) asal Kendal yang kini mengais rezeki di Sumenep. Di sampingnya, sebuah sepeda tua dengan keranjang plastik merah muda menjadi saksi perjuangannya.
Pada bagian belakang sepedanya, berjejer rapi puluhan sachet minuman instan: kopi, teh, hingga jahe. Sebuah papan sederhana bertuliskan “Es Jeruk, Es Teh, Susu Jahe, Jahe Anget, Kopi Panas, Es Kopi” menegaskan betapa lapaknya hadir untuk melayani siapa pun yang singgah.

Senyum kecil yang muncul di wajahnya seakan berkata, bahwa meski hidup penuh jatuh bangun, selalu ada cara untuk berdiri dan tetap menghidupi keluarga.
Rohim bukan orang yang mudah menyerah. Sejak kecil, ia sudah terbiasa hidup pas-pasan. Orang tuanya hanyalah keluarga sederhana, sementara ia sebagai anak pertama merasa punya kewajiban menanggung lebih banyak.
“Kalau saya berhasil, jangan sampai minta ke orang tua. Justru saya yang harus memberi jatah untuk mereka. Itu wajib bagi saya,” ucapnya pelan.
Sebelum sampai di Sumenep, perjalanan Rohim berliku. Tahun 2009 ia merantau ke Malaysia, bekerja di restoran selama enam tahun. Di sana ia belajar banyak hal, termasuk keterampilan mengolah dan memotong ayam hingga siap jual.
Dari keringatnya di negeri jiran, ia berhasil menabung dan pulang dengan modal yang cukup. Tahun 2015, ia membuka usaha tempe di kampung halaman.
Awalnya, usaha itu hanya bermodal 5–6 kilo kedelai per hari. Namun sedikit demi sedikit, usaha tempenya berkembang.
Dalam sehari ia bisa meraih omzet bersih hingga Rp300 ribu. Rohim bahkan mempekerjakan tiga orang karyawan. “Alhamdulillah, waktu itu maju. Bisa dibilang hidup mulai enak,” kenangnya.
Namun, pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Harga kedelai meroket, daya beli masyarakat anjlok. Dari semula Rp6.000 per kilo, harga kedelai melonjak hingga Rp14.500.
Usaha tempe yang pernah memberi harapan, kini justru menggerus tabungan. “Biasanya bisa 300 ribu per hari, akhirnya tidak sampai seratus ribu. Buat makan saja kurang,” katanya. Beratnya beban itu membuatnya terpaksa menutup usaha pada 2022.
Sejak itu, Rohim bertahan dengan kerja serabutan. Ia berpindah-pindah kota, mencoba peruntungan di Jakarta hingga Jawa Barat.
Namun, tak ada yang benar-benar membuatnya bisa bangkit seperti dulu. Sampai akhirnya ia memutuskan hijrah ke Sumenep, tinggal sementara bersama saudaranya, dan membuka lapak kopi kecil.
Setiap malam, dari pukul 8 hingga tengah malam, ia menunggu pembeli yang datang. Kadang ramai, kadang sepi. “Pernah cuma dapat Rp13 ribu sehari, cuma laku dua gelas kopi. Tapi kalau pas ada keramaian, bisa juga sampai Rp200 ribu,” tuturnya.
Selain kopi malam hari, pagi ia berjualan es teh dan es jeruk di pinggir jalan. Pendapatan dari sana pun naik-turun: kadang Rp90 ribu, kadang hanya Rp50 ribu.
Bagi sebagian orang, angka-angka itu mungkin kecil. Namun bagi Rohim, inilah jalan untuk bertahan hidup, sekaligus cara menjaga harga diri sebagai seorang anak pertama.
Ia tahu ada banyak anak muda seusianya yang memilih menyerah, tetapi ia tidak ingin menghabiskan waktu dengan sia-sia. “Saya punya prinsip, kerja keras itu kewajiban. Saya harus bisa membahagiakan bapak ibu saya,” katanya.
Cita-citanya sederhana: suatu saat pulang ke kampung halaman dengan cukup modal untuk membuka usaha sendiri. Entah itu kembali berdagang tempe, membuka warung ayam potong, atau usaha lain yang bisa menafkahi keluarga.
Bagi Rohim, berdagang bukan sekadar pekerjaan, melainkan bakat yang sudah mendarah daging. “Kalau ada modal cukup, insya Allah saya buka usaha di Jawa Tengah. Itu sudah cita-cita sejak lama,” ujarnya penuh keyakinan.
Kisah Abdul Rohim mengingatkan bahwa jalan wirausaha tidak selalu mulus. Ada masa naik, ada masa jatuh. Ada hari-hari ketika keuntungan terasa melimpah, tapi ada juga malam panjang ketika hasil yang dibawa pulang hanya cukup untuk rokok dan makan. Namun, justru dari ketidakpastian itulah lahir semangat bertahan.
Ia mungkin hanya satu dari ribuan pedagang kecil di kota-kota Indonesia, tetapi ceritanya mewakili suara banyak orang yang terus berjuang di tengah kerasnya hidup.
“Bahwa meski gagal sekali, dua kali, bahkan berkali-kali, selalu ada ruang untuk bangkit kembali. Dan selama ada tekad untuk bekerja, harapan itu tidak akan pernah padam.”
Penulis : Mazdon
Editor : Amin Bashiri