“Whatever choices we make, if based on credible information, will improve our lives.”
Bahwa setiap pilihan yang kita buat, bila berdasarkan informasi kredibel, akan memperbaiki hidup kita.
— Najwa Shihab
SOSOK, ESTORIA.ID — Di panggung media Indonesia, sosok perempuan yang benar-benar menguasai percakapan publik bisa dihitung dengan jari. Di antara nama-nama itu, satu yang paling sering disebut dengan nada kagum: Najwa Shihab.
Penampilannya sederhana, tutur katanya terukur, tapi ketajaman pikirannya menusuk jantung percakapan bangsa.
Ia seperti jenderal yang memimpin barisan kata-kata, memastikan opini publik tidak jatuh ke sekadar obrolan kosong, melainkan menjadi percakapan yang mendorong perubahan.
Najwa hadir bukan sebagai penghibur layar kaca. Ia menjadikan jurnalisme sebagai arena perjuangan, sebuah misi yang ia sebut sebagai “amanah.”
Baginya, kata-kata bukan sekadar bunyi, melainkan senjata yang bisa mengguncang kekuasaan, menginspirasi masyarakat, dan membentuk arah bangsa.
Dari Makassar ke Jakarta
Najwa lahir di Makassar pada 16 September 1977. Ia adalah putri dari Quraish Shihab, seorang ulama, akademisi, dan mantan Menteri Agama.
Dari rumah yang sarat dengan diskusi keilmuan, Najwa terbiasa mendengar perdebatan intelektual sejak kecil.
Lingkungan itu melatihnya untuk berpikir kritis, menghargai argumen, dan memahami bahwa kata-kata memiliki bobot moral.
Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Awalnya, ia membayangkan karier sebagai pengacara. Namun, pengalaman magang di Divisi Berita RCTI membuatnya jatuh hati pada dunia jurnalistik.
Ia menemukan bahwa hukum berbicara di ruang sidang, sementara jurnalisme berbicara langsung ke hati masyarakat. Dari situ, jalur hidupnya berubah.
Tahun-tahun Pembentukan di Metro TV
Pada 2000, Najwa bergabung dengan Metro TV yang baru berdiri. Di stasiun berita itu, ia ditempa dalam atmosfer yang menuntut kecepatan, akurasi, dan ketajaman.
Dalam waktu singkat, ia menonjol di antara reporter muda lain. Penugasan demi penugasan ia jalani dengan dedikasi penuh, hingga akhirnya ia dipercaya meliput peristiwa besar yang mengubah wajah Indonesia: tsunami Aceh 2004.
Liputan dari tanah yang porak-poranda itu memperlihatkan sisi lain Najwa: keberanian fisik di lapangan, sekaligus empati mendalam pada korban.
Kata-katanya saat melaporkan tragedi tidak sekadar menyalurkan informasi, melainkan menyalurkan rasa. Publik terhubung dengan kepedihan, sekaligus harapan, melalui narasinya.
Liputan tersebut kemudian membawanya meraih penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai Reporter Terbaik 2005.
Mata Najwa: Ruang Percakapan Bangsa
Tahun 2009, Metro TV meluncurkan program Mata Najwa. Acara ini segera menjelma menjadi fenomena. Bukan hanya karena bintang utamanya adalah Najwa, melainkan karena acara ini membuka ruang publik yang selama ini terasa kaku.
Tokoh-tokoh penting dari presiden, menteri, politisi, pebisnis, hingga aktivis masyarakat duduk di kursi panas berhadapan dengannya.
Najwa membangun gaya wawancara yang khas: tegas, rapi, penuh data, tetapi tidak kehilangan sentuhan emosional.
Ia mampu mengajukan pertanyaan yang membuat narasumber berhenti sejenak, terdiam, lalu akhirnya mengeluarkan jawaban jujur. Adegan-adegan ini sering menjadi bahan pembicaraan nasional.
Bagi banyak orang, Mata Najwa adalah kelas kewarganegaraan yang disiarkan di televisi.
Di situlah, masyarakat belajar bagaimana menakar janji politik, menimbang argumen pejabat, hingga menyaksikan wajah asli kekuasaan ketika berhadapan dengan pertanyaan yang sulit dihindari.
Dari Televisi ke Narasi
Pada 2017, Najwa mengejutkan publik dengan pengumuman bahwa ia meninggalkan Metro TV, setelah 17 tahun berkarya.
Bagi sebagian orang, itu langkah berisiko. Namun, bagi Najwa, saat itu ia perlu menciptakan rumah baru bagi jurnalisme; ruang independen yang tidak terikat kepentingan industri media besar.
Dari situlah lahir Narasi pada 2018. Bukan sekadar kanal YouTube, Narasi berkembang menjadi ekosistem media digital yang merangkul berbagai jenis konten: berita, hiburan, dokumenter, hingga kampanye literasi digital.
Dengan Narasi, Najwa membuktikan bahwa jurnalisme bisa bertahan bahkan di era disrupsi, asalkan tetap berpijak pada integritas.
Narasi bukan proyek personal. Ia membentuk tim yang berisi jurnalis muda, kreator digital, dan aktivis komunitas.
Semua bergerak dengan energi yang sama, meyakini bahwa informasi yang sehat adalah pondasi demokrasi.
Kepemimpinan Perempuan di Panggung Media
Najwa sering disebut sebagai representasi kepemimpinan perempuan dalam media. Ia hadir di panggung yang selama ini lebih banyak dipimpin laki-laki.
Namun, ia tidak merasa perlu meniru gaya maskulin untuk mendapatkan legitimasi. Ketegasannya lahir dari keyakinan, bukan dari imitasi.
Ketika ia duduk di kursi pembawa acara, terlihat bagaimana ia menguasai ruangan. Perempuan yang berdiri di tengah sorotan lampu itu tidak sekadar hadir, ia memimpin percakapan.
Keberadaannya memberi inspirasi bagi banyak perempuan muda Indonesia bahwa suara mereka juga berharga, juga bisa mengarahkan arah bangsa.
Validasi atas Integritas
Perjalanan Najwa dihiasi berbagai penghargaan. Pada 2011, ia masuk daftar Young Global Leader dari World Economic Forum.
Pada 2015, Forbes Indonesia menobatkannya sebagai Most Progressive Figure. Ia juga dipercaya sebagai Duta Baca Indonesia oleh Perpustakaan Nasional periode 2016–2020, mengingat komitmennya terhadap literasi.
Di dalam negeri, ia berkali-kali meraih penghargaan KPI, Panasonic Gobel Awards, hingga Indonesian Television Awards.
Bagi Najwa, penghargaan bukanlah tujuan. Semua itu hanya konsekuensi dari konsistensi pada nilai yang ia pegang: independensi, integritas, dan keberanian.
Inspirasi bagi Generasi Muda
Yang membuat Najwa istimewa adalah caranya menjangkau generasi muda. Ia tidak berdiri di menara gading. Ia hadir dalam percakapan sehari-hari: lewat YouTube, Instagram, bahkan TikTok.
Najwa Shihab adalah sosok yang mampu berbicara dengan bahasa yang bisa dimengerti anak muda, tanpa mengurangi bobot gagasan.
Banyak mahasiswa jurnalisme mengaku memilih profesinya setelah terinspirasi oleh Najwa. Banyak aktivis muda yang mengaku belajar cara menyampaikan kritik dari tayangan Mata Najwa. Bahkan, mereka yang bukan aktivis merasa lebih peduli pada politik setelah menonton percakapannya dengan tokoh publik.
Kehidupan Pribadi yang Dijaga
Di balik sorotan kamera, Najwa adalah seorang ibu dari dua anak. Ia menikah dengan almarhum Ibrahim Sjarief Assegaf, seorang pengacara dan aktivis.
Meski kehidupannya akrab dengan publik, ia memilih menjaga privasi keluarga. Sikap ini menegaskan bahwa kepemimpinan publik bisa berjalan beriringan dengan kehidupan domestik yang penuh cinta.
Jurnalisme sebagai Amanah
Ada satu hal yang terus ia ulang dalam berbagai kesempatan: jurnalisme adalah amanah. Kata ini merangkum seluruh jalan hidupnya.
Baginya, jurnalis tidak bisa main-main dengan fakta, karena di balik setiap fakta ada nasib orang banyak. Setiap pertanyaan yang diajukan jurnalis bukan retorika, tetapi doa, harapan, dan kritik yang dititipkan rakyat.
Cermin Jurnalis Perempuan
Apa yang bisa dipelajari dari perjalanan Najwa Shihab? Bahwa keberanian tidak lahir dari teriakan, melainkan dari konsistensi.
Bahwa kata-kata yang dipilih dengan hati bisa lebih tajam dari senjata.
Bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin publik tanpa kehilangan jati diri.
Bagi pembaca Estoria.id, kisah Najwa adalah undangan untuk percaya pada diri sendiri. Jika ia bisa menjadikan layar kaca sebagai ruang perjuangan, kita pun bisa menjadikan bidang masing-masing sebagai arena memberi dampak. Di balik semua rutinitas harian, selalu ada peluang untuk menghadirkan makna.
Warisan Kata yang Menggerakkan
Najwa Shihab adalah jenderal perempuan di panggung media Indonesia. Ia menegakkan jurnalisme sebagai amanah, membangun Narasi sebagai benteng independensi, dan memberi contoh kepemimpinan perempuan yang elegan sekaligus berani.
Di tengah kebisingan zaman, ia mengingatkan bahwa kata-kata adalah warisan. Kata bisa melukai, tapi kata juga bisa menggerakkan bangsa menuju masa depan yang lebih sehat.***
Penulis : Mazdon
Editor : Amin Bashiri