OBITUARI, ESTORIA – Duka mendalam menyelimuti keluarga Jenderal (Purn) Wiranto. Istri yang selama puluhan tahun menjadi sandaran hidupnya, Rugaiya Usman, meninggal dunia, Minggu (16/11/2025).
Kepergian perempuan yang akrab disapa Uga ini meninggalkan kehampaan yang tak mudah diungkapkan dengan kata-kata.
Menurut keterangan Kapuspen Mabes TNI Mayjen (Mar) Freddy Ardianzah, Rugaiya wafat pukul 15.55 WIB di Bandung.
TNI menyampaikan belasungkawa, mendoakan kepergiannya dengan penuh hormat, dan berharap keluarga diberi kekuatan menghadapi kehilangan yang menghentak hati.
Jenazah Rugaiya disemayamkan di Jakarta sebelum dibawa ke Solo untuk pemakaman keluarga.
Di rumah duka, suasana hening mencerminkan betapa besar peran sosoknya dalam keluarga dan kehidupan banyak orang.
Perempuan yang Menopang Banyak Langkah, Meski Sering Berjalan Sendiri
Sejak awal pernikahannya dengan Wiranto, Rugaiya sudah belajar bahwa menjadi istri seorang prajurit berarti siap menghadapi kesunyian yang panjang.
Ia menunggu dengan hati berdebar, menghadapi ketidakpastian, dan tetap menjadi ibu yang utuh bagi anak-anaknya meski sering melewati hari-hari berat sendirian.
Ketika suaminya memikul tanggung jawab negara, dari panglima TNI hingga menko polhukam, Rugaiya memikul tanggung jawab rumah, keluarga, dan pendidikan anak-anak.
Tidak semuanya berjalan mudah. Ada masa ketika ia harus menahan kegelisahan tanpa bisa menelpon suaminya, karena tugas negara menempatkan Wiranto di medan yang jauh dan penuh risiko.
Namun ia tetap berdiri tegak, menghadapi kehidupan yang tak pernah tenang, dengan hati yang ia keras-awetkan sendiri.
Luka yang Dipeluk, Duka yang Dirawat Sendiri
Pergulatan batin terbesar Rugaiya datang pada 2013, ketika putranya, Zainal Nur Rizki, meninggal dunia.
Kehilangan seorang anak adalah luka yang nyaris tak bisa dijangkau bahasa, dan Uga memanggul luka itu dalam diam seorang ibu.
Ia pernah menceritakan bagaimana ia mencoba tetap tegar di depan keluarga, meski hatinya terkoyak. Malam-malam setelah kepergian putranya ia jalani dengan doa berulang, memeluk bantal yang masih membawa sedikit wangi anaknya.
Saat keluarga lain tidur, ia duduk sendiri di ruang tamu, memandangi foto Zainal sambil mengulang kalimat, “Nak, ibu bangga padamu…” seolah berusaha menenangkan hatinya sendiri.
Meski demikian, ia tetap menyampaikan kebanggaannya kepada putranya di hadapan publik. Zainal adalah anak yang berani memutuskan jalan hidupnya sendiri, termasuk menikah di usia sangat muda. “Itu keputusan yang ia ambil dengan yakin,” kata Bunda Uga.
Kata-kata itu bukan sekadar pujian seorang ibu, melainkan cara ia merawat kenangan agar kehilangan itu tidak berubah menjadi beban yang semakin menghancurkan.
Cinta yang Tumbuh dari Kesederhanaan dan Bertahan Melalui Lelah
Kisah cinta Rugaiya dan Wiranto bukan kisah romansa mewah ala tokoh besar negara. Cinta mereka tumbuh dari hal-hal sederhana, pertemuan di usia remaja, janji yang diikat dengan ketulusan, dan kehidupan yang dimulai dari titik nol.
Saat Rugaiya ingin kuliah namun tak punya cukup biaya, ia menolak bantuan yang membuatnya merasa berutang budi.
Lalu datang pinangan Wiranto, yang ia terima dengan syarat sederhana namun penuh harga diri: ia harus tetap mengenyam pendidikan.
Wiranto menyanggupinya. Dan sejak itu, mereka membangun rumah tangga sambil saling menopang mimpi masing-masing.
Ketika sang suami bertugas di berbagai daerah, ia menjalani kuliah hukum di Jember, berusaha mengatur waktu antara menjadi istri prajurit dan mahasiswi yang memikul beban hidupnya sendiri.
Bukan semua orang memahami betapa sunyinya hidup seorang istri prajurit. Banyak waktu Rugaiya melewati malam-malam panjang tanpa tahu pasti apakah suaminya selamat atau sedang berada di tengah bahaya.
Namun ia jarang menunjukkan kecemasannya, bahkan ketika hatinya sedang terbelah. Karena ia tahu, suaminya membutuhkan ketenangan dari rumah.
Dan ketika Wiranto pernah menyebut dirinya sebagai “pakaian” dalam arti pelindung, penjaga, bagian hidup yang selalu menempel, Rugaiya hanya tersenyum.
Ia tahu suaminya bukan penyair, tetapi ia tahu betul maksudnya: ia adalah orang yang tak pernah tergantikan.
Kebersamaan yang Akhirnya Dijeda oleh Garis Takdir
Pada Minggu sore itu, ketika jarum jam menyentuh pukul 15.55 WIB, perjalanan panjang mereka akhirnya tiba pada jeda yang tak bisa dicegah siapa pun.
Kepergian Rugaiya bukan hanya memisahkan seorang suami dari istrinya, tetapi juga memisahkan keluarga dari sosok ibu yang menjadi pusat kehangatan mereka.
Namun cinta seperti yang mereka miliki tidak pernah benar-benar putus. Ia tetap hidup dalam rumah yang pernah ia jaga, anak-anak yang pernah ia besarkan, suami yang pernah ia dampingi, dan setiap orang yang mengenangnya sebagai perempuan kuat yang menanggung banyak hal tanpa pernah mengeluh.
Rugaiya Usman pergi, tetapi jejaknya menetap. Dan dari seluruh kisah tentangnya, satu hal paling jelas: ia hidup bukan untuk dikenang sebagai istri tokoh besar, tetapi sebagai perempuan yang hatinya besar. Lebih besar dari semua ujian yang pernah ia hadapi.
***






